Sabtu, 16 Juli 2011

HASTA BRATA

KISAH WAHYU MAKUTHARAMA

Prabu Duryudana (Suyudana) raja Astinapura sedang mengadakan siniwakan agung (rapat paripurna) yang juga dihadiri guru besar kerajaan, Resi Druna (Durna), Senapati Agung dari Awangga, yaitu Narpati Basukarna (Adipati Karna), Baladewa raja Mandura, Patih Sengkuni dan para Kurawa, membicarakan tentang wangsit yang diterima Dewa melalui mimpinya akan turun wahyu Makhutarama di Kutharunggu.
Menurut petunjuk dari Resi Durna, kerajaan yang mendapat wahyu Makhutarama, akan menjadi negara yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi, rakyatnya tidak akan menderita kekurangan apapun dan memperoleh perlindungan dari Hyang Maha Kuasa.
Sebagai murid dan sekaligus sebagai Raja, Prabu Duryudana, setelah mendengar petunjuk dari guru besarnya kemudian memerintahkan Adipati Karna untuk berangkat dan mendapatkan wahyu Makhutarama di Pertapaan Kutharunggu. Adipati Karna berangkat ke Pertapaan Kutharunggu disertai sabregada (sepasukan) prajurit Astina dengan perlengkapan perangnya.
Seorang begawan bernama Begawan Kesawasidhi sedang bertapa di Pertapaan Kutharunggu. Anoman beserta Resi Maenaka, Yaksendra, Yajagwreka, dan Gajah Setubanda mendapat tugas dari Begawan Kesawasidhi untuk menjaga keamanan dan ketentraman pertapaan selama begawan bersemedi (meditasi).
Saat Begawan Kesawasidhi bersemedi, datanglah Adipati Karna, dengan maksud ingin bertemu dengan Begawan Kesawasidhi. Maksud dan tujuan Adipati Karna tersebut dihalang-halangi oleh Anoman dan para saudaranya, karena sang begawan masih bersemedi. Terjadilah perbedaan persepsi antara Anoman dengan Adipati Karna, akhirnya terjadi pertempuran sengit yang berakibat menimbulkan banyak korban. Para kurawa tidak mampu menandingi kesaktian Resi Maenaka, Yaksendra, Yajagwreka, dan Gajah Setubanda, sedangkan Anoman yang bertempur melawan Adipati Karna juga berlangsung dengan sengitnya, keduanya mengeluarkan kesaktiannya masing-masing.
Adipati Karna, karena terdesak akhirnya mengeluarkan senjata pamungkas (senjata andalan terakhirnya) yang berupa panah Kunthawijaya, Anoman sangat terkejut, karena Kunthawijaya tidak boleh diremehkan dan tidak seorangpun yang mampu menahan kekuatannya.
Merasa dirinya tidak mampu menandingi kekuatan senjata Kunthawijaya, maka Anoman terbang setinggi-tingginya kemudian melesat menukik ke bawah untuk mengambil Kunthawijaya dari tangan Adipati Karna. Menyadari senjata andalannya terlepas dari busurnya dan tidak mengenai sasarannya, maka kembalilah Adipati Karna dengan lemasnya ke Awangga, ia tidak kembali ke Astina karena merasa sedih, malu, gagal dalam menjalankan tugasnya dan telah kehilangan pusaka andalannya.
Raden Arjuna mendapatkan tugas yang sama dari Prabu Puntadewa yaitu untuk mendapatkan wahyu Makutharama di Pertapaan Kutharunggu. Ia ditemani oleh para punakawan yang setia menghibur di kala Raden Arjuna dalam kesedihan di waktu perjalanan menuju ke Pertapaan Kutharunggu.
Ketika perjalanan memasuki hutan belantara, Raden Arjuna dihadang dan diganggu perjalanannya oleh para raksasa, sehingga terjadi pertempuran dan akhir pertempuran dimenangkan oleh Raden Arjuna dan perjalanannya dilanjutkan ke Pertapaan Kutharunggu.
Kerajaan Amerta yang diselimuti awan hitam bagaikan tidak ada sinar matahari, karena itu seluruh penghuninya duduk termenung diam membisu. Pandangan mata menatap hampa, nafas berdesah dan gelisah menyelimuti hati mereka, demikian pula dengan Prabu Puntadewa, Bima, Nakula, Sadewa dan Raden Gatutkaca. Prabu Puntadewa sedang memikirkan Prabu Kresna yang telah lama tidak berkunjung ke Amarta dan Raden Arjuna yang juga sudah lama belum kembali dari tugasnya untuk mendapatkan wahyu Makhutarama di Pertapaan Kutharunggu. Prabu Puntadewa memerintahkan Bima untuk mencari Prabu Kresna, sedangkan Raden Gatukaca diperintahkan untuk mencari keberadaan Raden Arjuna. Keduanya segera berangkat meninggalkan Amarta untuk melaksanakan tugasnya.
Belum kembalinya Raden Arjuna ke Amarta, juga menimbulkan kegelisahan Dewi Wara Subadra dan Dewi Wara Srikandhi istri-istri Raden Arjuna di Kasatriyan Madukara. Kedua istri Raden Arjuna, memohon kepada para dewa untuk mengetahui keberadaan suaminya dengan sungguh-sungguh. Karena ketulusan dan keseriusan mereka, akhirnya dewa mengabulkan dengan datangnya Batara Naradha. Untuk memberi jalan kepada Dewi Subadra dan Dewi Srikandhi, keduanya dirubah wujudnya menjadi dua satriya elok rupawan dan diberi nama Shintawaka untuk Dewi Subadra dan Madusubrata untuk Dewi Srikandhi. Keduanya diperintahkan untuk menuju ke Pertapaan Kutharunggu. Setelah selesai memberi petunjuk dan arahan kepada Shintawaka dan Madusubrata, Batara Naradha kembali menuju ke kahyangan sedangkan Shintawaka dan Madusubrata segera berangkat ke Pertapaan Kutharunggu, menuruti petunjuk Batara Naradha.
Anoman melaporkan tentang kejadian pertempurannya antara ia yang dibantu dengan saudara-saudaranya dengan Adipati Karna dengan para Kurawa setelah Begawan Kesawasidhi selesai bersemedi. Anoman melarang Adipati Karna untuk bertemu dengan Begawan Kesawasidhi dikarenakan sang Begawan masih semedi. Ia lalu menyerahkan senjata Adipati Karna yaitu Kunthawijaya yang dapat direbutnya pada waktu pertempuran terjadi.
Mendengar laporan Anoman tersebut, Begawan Kesawasidhi kemudian memberi wejangan kepada Anoman yang pada hakekatnya merupakan teguran halus atas kesalahan Anoman.
Begawan Kesawasidhi, sebagai figur atau tokoh panutan dalam beragama, meskipun ia marah atau tidak berkenan dengan perbuatan Anoman yang salah menurut tatanan, maka cara menegurnya pun dengan menggunakan tutur kata yang halus untuk menjaga perasaan orang yang ditegurnya istilahnya “nduweni roso rumongso” atau “nduweni tepo seliro”, semuanya dikembalikan pada dirinya sendiri. Andaikan ia ditegur orang lain dengan cara kasar pasti ia juga sakit hati.
Tindakan Anoman melarang Adipati Karna menemui atau menghadap Begawan Kesawasidhi merupakan tindakan yang salah, karena Anoman dalam menjalankan tugasnya melebihi wewenangnya, apalagi sampai bertempur yang menimbulkan banyak korban, menyusahkan dan membuat malu seorang Senapati Agung karena kehilangan senjata andalannya (pusaka andalannya). Anoman hanya diberi wewenang untuk menjaga keamanan dan ketentraman Pertapaan Kutharunggu saja. Begawan Kesawasidhi tidak pernah memberi wewenang Anoman dan saudara-saudaranya untuk menolak orang yang akan bertemu atau menghadap begawan.
Anoman sungguh sangat terkejut mendengar sabda Begawan Kesawasidhi, menurut Anoman ia telah berbuat benar, ternyata sebaliknya justru tanpa disadari Anoman telah berbuat kesalahan. Menyadari kesalahannya, Anoman memohon petunjuk Begawan Kesawasidhi untuk menebus kesalahannya, Anoman diperintahkan kembali kepertapaan Kendhalisada agar bersemedi atau bermeditasi untuk memohon petunjuk para dewa dan mohon pengampunannya.
Anoman segera meninggalkan pertapaan Kutharunggu, kembali kepertapaan Kendhalisada untuk melaksanakan perintah Begawan Kesawasidhi. Kejadian tersebut sama dengan Anoman telah melebihi Perintah Begawan Kesawasidhi, melebihi perintah sama halnya menambah atau mengurangi perintah yang artinya sama dengan mendustakan perintah.
Sepeninggal Anoman, datanglah Raden Arjuna dan menghadap Begawan Kesawasidhi, mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya ke Pertapaan Kutharunggu untuk mendapatkan wahyu Makhutarama. Mendengar keinginan Raden Arjuna untuk mendapatkan wahyu Makutharama, kemudian Begawan Kesawasidhi memberikan wejangan kepada Raden Arjuna dan mengatakan bahwa wahyu Makutharama itu tidak lain adalah ilmu yang dipakai oleh Prabu Rama ketika menjadi raja di Pancawatidhendha.
Prabu Rama sangat dihormati dan dikasihi oleh para kawulanya dan keberhasilan pemerintahannya karena Prabu Rama berpegang pada ajaran yang disebut dengan “Hasthabrata”. Seorang pemimpin atau raja yang memegang teguh “Hasthabrata” ketika menduduki tahta singgasananya, ia akan tetap jaya, sentosa, adil dan dapat memakmurkan rakyatnya atau kawulanya serta akan dihormati dan dikasihi oleh rakyatnya.
Begawan Kesawasidhi menjelaskan panjang lebar tentang wahyu Makutharama yang tidak lain merupakan ilmu pemerintahan yang harus dimiliki oleh rajanya atau pemimpinnya ketika memimpin, agar rakyat mengalami hidup tata tentrem tur raharja (aman tentram dan damai serta berkecukupan) yang disebut dengan “Hasthabrata” (delapan laku/watak). Raden Arjuna lalu mohon undur diri. Sebelum ia pergi, Begawan Kesawasidhi menitipkan Kunthawijaya, senjata pusaka Adipati Karna yang dirampas Anoman, untuk diserahkan kembali pada pemiliknya.
Dengan selesainya tugas menjabarkan “Hasthabrata” maka Begawan Kesawasidhi berubah wujudnya kembali menjadi Prabu Kresna dari Dwarawati, kemudian menyusul perjalanan Raden Arjuna yang kembali ke Kerajaan Amarta.
Shintawaka jelmaan Dewi Wara Subadra dan Madusubrata jelmaan Dewi Wara Srikandi, dalam perjalanannya mencari Raden Arjuna selalu meneriakkan tantangannya kepada Raden Arjuna. Suara tantangan yang lantang itu terdengar oleh Raden Gatutkaca yang sedang berada diangkasa dalam perjalanan untuk mencari Raden Arjuna. Tidak terima dengan kesombongan Shintawaka dan Madusubrata yang merendahkan Raden Arjuna, terjadilah pertempuran yang berakhir dengan kekalahan Raden Gatutkaca. Kemudian Raden Gatutkaca diangkat anak oleh mereka dan diajak untuk bersama-sama mencari Raden Arjuna.
Adipati Karna yang sedih dan malu, setelah kehilangan senjata pusakanya Kunthawijaya dan kegagalannya untuk memperoleh wahyu Makhutarama, bertemu dengan Raden Arjuna. Keduanya saling melepas rindu karena lama tidak bertemu. Raden Arjuna menyerahkan senjata pusaka Kunthawijaya kepada Adipati Karna. Dengan kembalinya senjata pusaka andalannya, hati Adipati Karna sangat senang dan mengucapkan terima kasih kepada Raden Arjuna yang telah mengembalikan Kunthawijayanya.
Adipati Karna menanyakan asal mulanya Kunthawijaya dapat berada ditangan Raden Arjuna. Raden Arjuna pun berterus terang bahwa senjata pusaka Kunthawijaya ia peroleh dari Begawan Kesawasidhi ketika bermaksud mencari wahyu Makutharama. Mendengar cerita itu, Adipati Karna memaksa ingin tahu tentang wahyu Makutharama, tetapi Raden Arjuna menolak memberitahukan sehingga terjadi pertempuran di antara keduanya. Adipati Karna kalah bertanding dan melarikan diri dari pertempuran dengan Raden Arjuna.
Adipati Karna yang sedang melarikan diri di tengah perjalanannya bertemu dengan Shintawaka dan Madusubrata yang sedang mencari Raden Arjuna. Pucuk dicinta ulam tiba, Adipati Karna memberitahukan bahwa Raden Arjuna berada di belakang dan sedang mengejarnya.
Raden Arjuna yang tengah mengejar Adipati Karna, dihalang-halangi oleh Shintawaka dan Madusubrata hingga terjadi pertempuran. Raden Arjuna kalah dan menghindari Shintawaka dan Madusubrata. Saat Raden Arjuna mundur untuk menghindari dari Shitawaka dan Madusubrata, ia betemu dengan Bimasena yang sedang mencari keberadaan Prabu Kresna. Raden Arjuna menceritakan bahwa ia kalah dalam bertanding melawan Shintawaka dan Madusubrata, Raden Arjuna kemudian mengharapkan bantuan Bimasena untuk melawan Shintawaka dan Madusubrata. Bimasena heran adiknya dapat dikalahkan oleh dua satriya yang tidak terkenal, tetapi ia tetap bersedia membantu Raden Arjuna untuk menghadapi Shintawaka dan Madusubrata. Dalam pertempuran dengan Shintawaka dan Madusubrata, Bimasena juga dapat dikalahkan, karena Shintawaka dan Madusubrata dibantu oleh Gatutkaca yang mengetahui kelemahan ayahnya.
Bimasena dan Raden Arjuna mundur menghindari pertempuran dengan Shintawaka dan Madusubrata dan mereka bertemu dengan Prabu Kresna. Keduanya menceritakan bahwa baru saja bertempur dengan Shintawaka dan Madusubrata yang sangat sakti dan sulit untuk ditundukkan. Prabu Kresna melihat dengan mata kedewataannya dan mengetahui siapa jati diri keduanya. Prabu Kresna memerintahkan Raden Arjuna kembali untuk menghadapi Shintawaka dan Madusubrata dengan menggunakan ilmu/aji Asmaratantra berupa syair/tembang asmara yang dapat meluluhkan hati. Shintawaka dan Madusubrata berubah kembali wujudnya ke wujud aslinya yaitu Shintawaka berubah kembali menjadi Dewi Wara Subadra dan Madusubrata berubah kembali wujudnya menjadi Dewi Wara Srikandi.
Prabu Kresna dan Bimasena, menanyakan kepada Dewi Wara Subadra mengapa ia menyamar sebagai seorang satriya. Dewi Wara Subadra pun menceritakan perihal kesedihannya karena lama ditinggal Raden Arjuna dan tidak ada kabar beritanya. Setelah mendengar penuturan Dewi Wara Subadra demikian, maka Prabu Kresna terasa lega dan bersyukur atas bantuan Batara Naradha dapat mempertemukan kembali Dewi Wara Subadra dengan suaminya Raden Arjuna.

HASTHA BRATA

Makutharama merupakan gabungan dari dua kata yaitu “Makutha” dan “Rama”. ”Makutha” adalah mahkota yang merupakan kelengkapan busana kebesaran seorang raja, sedangkan ”Rama” yang dimaksud adalah Prabu Rama Wijaya suami Dewi Shinta raja di Ayodya. Sehingga Makutharama dapat diartikan sebagai watak yang harus dimiliki oleh seorang raja meniru apa-apa yang telah dicontohkan oleh Prabu Rama Wijaya.. Sedangkan Hasthabrata juga merupakan gabungan dari dua kata yaitu “Hastha” dan “Brata”. ”Hastha” adalah delapan dan ”Brata” adalah laku atau perilaku.. Maka Hastha brata secara bebas dapat diartikan 8 (delapan) perilaku yang layak disandang dan dilaksanakan.
Dalam cerita pewayangan, Hasthabrata diajarkan oleh Sri Rama kepada Raden Barata ketika dia menyusul ke hutan untuk memohon kepada Sri Rama pulang ke negara Ayodya agar mau menjadi Raja. Namun karena terikat akan janji Ayahandanya yaitu Prabu Dasarata kepada Dewi Kekayi bahwa dia mau diperistri asal putranya kelak yang menggantikan tahta Ayodya, maka Sri Rama tidak mau menuruti bujukan Raden Barata. Sambil menangis, Raden Barata meratap-ratap bahwa Sri Ramalah yang pantas`menduduki tahta Ayodya, bukan dirinya. Akhirnya jalan tengah pun diambil oleh Sri Rama, Raden Barata diperintahkan kembali ke keraton Ayodya dengan membawa tarumpah atau sandal Sri Rama sebagai tanda bahwa Raden Barata dalam menjalankan pemerintahan di Ayodya sebagai Raja hanyalah sebagai badal atau wakil Sri Rama saja. Maka sebagai bekal Raden Barata naik tahta diwejanglah ajaran Hasthabrata ini.
Kali kedua, Hasthabrata ini diwejangkan oleh Sri Rama kepada Gunawan Wibisono ketika Negara Alengka sudah bisa dikalahkan dalam rangka Rama merebut kembali Dewi Shinta dari cengkeraman Rahwana. Sri Rama tidak berkenan menjadi Raja di Negara Alengkadiraja walau dia merupakan pemenang perang. Karena kebijaksanaan Sri Rama mengingat trah Alengkadiraja masih ada yang hidup yaitu Gunawan Wibisono yang merupakan adik dari Prabu Rahwana atau Dasamuka. Sebelum naik tahta di Alengkadiraja yang atas titah Sri Rama berganti menjadi Negara Singgelapura maka Gunawan Wibisono pun diwejang Wahyu Makutharama atau Hasthabrata oleh Sri Rama.
Adapun 8 (delapan) hal yang merupakan Hasthabrata adalah meniru watak dari alam di sekitar kita, yaitu:
1. Pratiwi yang berarti bumi. Bumi mempunyai watak kuat sentosa, segala sesuatu mampu diangkatnya dengan gagah perkasa, baik itu manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan semua berpijak di atas bumi dan bumi pun tidak pernah mengeluh atas beban itu.
2. Surya yang berarti matahari. Matahari mempunyai watak menerangi merata di seluruh jagat tanpa kecuali, sinar matahari bersifat memberikan kehidupan pada seluruh makhluk.
3. Candra yang berarti rembulan. Rembulan mempunyai watak memberikan penerangan di kala malam hari atau pada saat gelap maka sifat rembulan memberikan penerangan kepada siapa saja yang sedang mengalami kegelapan.
4. Samirana yang berari angin atau udara. Udara mempunyai watak lembut dan dapat merata ke seluruh alam, baik itu yang keliatan maupun yang tidak. Terbukti di gua-gua yang dalam, berliku dan gelap sekalipun masih terdapat udara bahkan di dalam air sekalipun juga terdapat udara.
5. Jaladri yang berarti lautan atau samudera. Samudera mempunyai watak yang luas sehingga mampu menampung apa saja baik itu hal-hal yang baik maupun buruk, segala sampah masuk ke laut, bahkan bangkai anjing sekalipun juga masuk ke laut. Namun laut tidak pernah mengeluarkan bau yang tidak sedap.
6. Tirta yang berarti air. Air mempunyai watak memberikan kehidupan kepada makhluk hidup baik manusia, tumbuh-tumbuhan maupun hewan semua membutuhkan air demi kelangsungan hidupnya.
7. Kartika yang berarti bintang. Bintang mempunyai watak memberikan keindahan pada alam semesta. Kelip-kelip bintang di malam hari memberikan rasa nyaman tenteram bagi siapa saja yang melihatnya.
8. Dahana yang berarti api. Api mempunyai watak mampu menghanguskan apa saja tanpa pandang bulu. Maka sifat api ini diambil sebagai contoh untuk seorang raja harus mampu menghukum siapa saja yang salah, tidak pandang bulu apakah itu sanak atau keluarga, apabila bertindak salah harus dihukum demi tegaknya keadilan.

KAIDAH-KAIDAH KEBAHASAAN

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, hidayah, dan karunia-Nya, sehingga penulisan makalah Problematika Berbahasa Indonesia Kaidah-kaidah Kebahasaan dapat penulis selesaikan dengan lancar tanpa ada hambatan yang berarti.
Penulisan makalah Problematika Berbahasa Indonesia Kaidah-kaidah Kebahasaan ini dilakasanakan agar mahasiswa mengetahui kaidah-kaidah kebahasaan yang terkandung dalam bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional dan merupakan bahasa pengantar dalam bidang pendidikan. Selain itu, diharapkan agar mahasiswa tidak sekedar mengerti tetapi juga memahami dan menerapkan kaidah-kaidah kebahasaan tersebut dalam berkomunikasi sehingga mahasiswa dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak dapat bekerja sendiri, tanpa ada bimbingan, saran-saran dan bantuan dari banyak pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar tanpa ada hambatan yang berarti.
Penulis menyadari, dalam penyusunan proposal ini terdapat banyak kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun, penulis harapkan demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Penulis berharap semoga proposal ini memberi manfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.


Surakarta, September 2010


Penulis




DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………………………..
Kata Pengantar…………………………………………………………………………..
Daftar Isi…………………………………………………………………………………
A. Pendahuluan……………………………………………………………………..
a. Latar Belakang……………………………………………………………….
b. Rumusan Masalah…………………………………………………………....
c. Tujuan……………………………………………………………………......
d. Manfaat……………………………………………………………………….
B. Landasan Teori…………………………………………………………………..
a. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………….
b. Kerangka Pemikiran…………………………………………………………
C. Pembahasan……………………………………………………………………...
D. Penutup…………………………………………………………………………..
a. Kesimpulan…………………………………………………………………..
b. Saran…………………………………………………………………………
E. Daftar Pustaka……………………………………………………………………










KAIDAH-KAIDAH KEBAHASAAN
KAIDAH EJAAN, KAIDAH ISTILAH, DAN KAIDAH TATA BAHASA

A. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Dalam pemahaman umum, bahasa Indonesia sudah diketahui sebagai alat berkomunikasi. Setiap situasi memungkinkan seseorang memilih variasi bahasa yang akan digunakannya. Berbagai faktor turut menentukan pemilihan tersebut, seperti penulis, pembaca, pokok pembicaraan, dan sarana.
Dalam berbahasa Indonesia, tingkat kesadaran dan kepatuhan akan kaidah-kaidah kebahasaan secara jelas tergambarkan melalui perilaku berbahasa kita, baik ketika kita menggunakan bahasa Indonesia dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan. Tata bahasa baku bahasa Indonesia pada dasarnya merupakan rambu-rambu yang harus disadari dan sekaligus dipatuhi oleh para pemakai bahasa Indonesia agar perilaku berbahasa mereka tetap memperlihatkan ciri kerapian dan kecermatan. Kerapian dan kecermatan berbahasa ini hanya mungkin apabila bahasa Indonesia itu sendiri sebagai alat komunikasi memang telah siap untuk digunakan secara rapi dan cermat.
Ada dua hal mendasar yang harus dipenuhi oleh bahasa Indonesia agar bahasa persatuan dan bahasa negara milik bangsa Indonesia itu tetap mantap dapat digunakan sebagai alat komunikasi yang efektif dan efisien. Pertama, kaidah-kaidah kebahasaannya harus mantap. Kedua, perbendaharaan kata dan peristilahannya harus kaya dan lengkap. Apabila kedua macam persyaratan itu terpenuhi, bahasa Indonesia telah siap untuk digunakan secara rapi dan cermat untuk berbagai keperluan komunikasi, termasuk dalam konteks upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, masalah yang mungkin akan muncul antara lain:
1. Bagaimanakah kaidah-kaidah kebahasaan bahasa Indonesia yang benar menurut tata bahasa baku bahasa Indonesia?
2. Hal-hal apa sajakah yang termasuk dalam kaidah ejaan, kaidah istilah, dan kaidah tata bahasa?
3. Bagaimanakah penerapan kaidah-kaidah kebahasaan tersebut dalam hal berkomunikasi baik lisan maupun tertulis?
c. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah kaidah-kaidah kebahasaan ini adalah:
1. Mahasiswa mengerti dan memahami kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku menurut tata bahasa baku bahasa Indonesia.
2. Mahasiswa mampu menerapkan kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku tersebut dalam komunikasi baik secara lisan maupun tertulis.
3. Mahasiswa mampu membandingkan kaidah-kaidah kebahasaan yang selama ini berlaku di masyarakat dengan kaidah-kaidah kebahasaan menurut tata bahasa baku bahasa Indonesia yang benar.
4. Mahasiswa mampu mengevaluasi kesalahan pada penggunaan kaidah-kaidah kebahasaan yang tidak benar dalam komunikasi lisan maupun tertulis selama ini.
d. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari pembuatan makalah kaidah-kaidah kebahasaan ini adalah untuk mengetahui secara lebih detail dan terperinci tentang kaidah-kaidah kebahasaan bahasa Indonesia yang benar menurut tata bahasa baku bahasa Indonesia. Kaidah-kaidah kebahasaan yang dimaksud adalah kaidah dalam hal ejaan, istilah, dan tata bahasa. Setelah mengetahui kaidah-kaidah kebahasaan yang benar, mahasiswa akan mampu membuat kesimpulan dan membandingkannya dengan bahasa yang telah mereka gunakan selama ini, apakah sudah sesuai dengan kaidah kebahasaan yang berlaku atau belum sama sekali.

B. LANDASAN TEORI
a. Tinjauan Pustaka
Makalah kaidah-kaidah kebahasaan ini membahas tentang kaidah-kaidah kebahasaan secara garis besar. Kaidah-kaidah kebahasaan yang dibahas dalam makalah ini dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu kaidah ejaan, kaidah istilah, dan kaidah tata bahasa. Kaidah ejaan perlu dibahas agar mengetahui hal-hal apa saja yang termasuk dalam ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta cara penerapannya. Kaidah istilah perlu dibahas agar mengetahui dasar-dasar serta unsur-unsur penyerapan bahasa asing. Kaidah tata bahasa perlu dibahas agar mengetahui tata bahasa baku bahasa Indonesia yang baik dan benar.
b. Kerangka Pemikiran
Makalah kaidah-kaidah kebahasaan ini terdiri dari tiga kelompok besar, yaitu kaidah ejaan, kaidah istilah, dan kaidah tata bahasa. Pada kaidah ejaan, dibahas mengenai pemakaian huruf, mulai dari pemakaian huruf abjad hingga pemenggalan kata, pemakaian huruf kapital dan huruf miring, penulisan kata, serta pemakaian tanda baca. Pada kaidah istilah, dibahas mengenai penulisan huruf serapan, kaidah ejaan huruf serapan, konsonan ganda, serta akhiran asing. Pada kaidah tata bahasa, dibahas mengenai pengertian mengenai tata bunyi, pengertian mengenai pembentukan kata, pengertian mengenai kalimat, serta pengertian mengenai wacana. Masing-masing dari pokok bahasan makalah ini kemudian diuraikan pengertian dan pada bagian akhirnya disertai dengan contoh untuk lebih memudahkan pemahaman.

C. PEMBAHASAN
KAIDAH EJAAN
I. Pemakaian Huruf
a. Huruf Abjad
Abjad yang digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia terdiri atas:
Huruf Nama Huruf Nama Huruf Nama
Aa a Jj je Ss es
Bb be Kk ka Tt te
Cc ce Ll el Uu u
Dd de Mm em Vv ve
Ee e Nn en Ww we
Ff ef Oo o Xx eks
Gg ge Pp pe Yy ye
Hh ha Qq qi Zz zet
Ii i Rr er

b. Huruf Vokal
Huruf yang melambangkan vocal dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf a, i, u, e, dan o.
Huruf Vokal Contoh Pemakaian dalam Kata
Di Awal Di Tengah Di Akhir
a api padi lusa
e* enak petak sore
emas kena tipe
i itu simpan murni
o oleh kota radio
u ulang bumi ibu

*): Dalam pengajaran lafal kata, dapat digunakan tanda aksen jika ejaan kata menimbulkan keraguan.

c. Huruf Konsonan
Huruf yang melambangkan konsonan dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf-huruf b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z.
Huruf Konsonan Contoh Pemakaian dalam Kata
Di Awal Di Tengah Di Akhir
b bahasa sebut adab
c cakap kaca -
d dua ada abad
f fakir kafir maaf
g guna tiga balig
h hari saham tuah
j jalan manja mikraj
k* kami paksa sesak
- rakyat* bapak*
l lekas alas kesal
m maka kami diam
n nama anak daun
p pasang apa apa
q** Quran Furqan -
r raih bara putar
s sampai asli lemas
t tali mata rapat
v varia lava -
w wanita hawa -
x** xenon - -
y yakin payung -
z zeni lazim juz

*): Huruf k di sini melambangkan bunyi hamzah.
**): Huruf q dan x digunakan khusus untuk nama dan keperluan ilmu.
d. Huruf Diftong
Di dalam bahasa Indonesia terdapat diftong yang dilambangkan dengan ai, au, dan oi.
Huruf Diftong Contoh Pemakaian dalam Kata
Di Awal Di Tengah Di Akhir
ai ain syaitan pandai
au aula saudara harimau
oi - boikot amboi

e. Gabungan Huruf Konsonan
Di dalam bahasa Indonesia terdapat empat gabungan huruf yang melambangkan konsonan, yaitu kh, ng, ny, dan sy.



Gabungan
Huruf
Konsonan Contoh Pemakaian dalam Kata
Di Awal Di Tengah Di Akhir
kh khusus akhir tarikh
ng ngilu bangun senang
ny nyata hanyut -
sy syarat isyarat arasy

f. Pemenggalan Kata
1. Pemenggalan kata pada kata dasar dilakukan sebagai berikut:
a. Jika di tengah kata ada vokal yang berurutan, pemenggalan kata itu dilakukan antara kedua huruf vokal itu.
Misalnya: ma-in, sa-at, bu-ah.
Huruf diftong ai, au, dan oi tidak pernah diceraikan sehingga pemenggalan kata tidak dilakukan di antara kedua huruf itu.
Misalnya: sau-da-ra bukan sa-u-da-ra.
b. Jika di tengah kata ada huruf konsonan, termasuk gabungan huruf konsonan, di antara dua buah huruf vokal, pemenggalan dilakukan sebelum huruf konsonan.
Misalnya: ba-pak, ba-rang, la-wan, de-ngan.
c. Jika di tengah kata ada dua huruf konsonan yang berurutan, pemenggalan dilakukan di antara kedua huruf konsonan itu. Gabungan huruf konsonan tidak pernah diceraikan.
Misalnya: man-di, som-bong, swas-ta, makh-luk, Ap-ril.
d. Jika di tengah kata ada tiga buah huruf konsonan atau lebih, pemenggalan dilakukan di antara huruf konsonan yang pertama dan huruf konsonan yang kedua.
Misalnya: ins-trumen, in-fra, bang-krut, ikh-las.
2. Imbuhan akhiran dan imbuhan awalan, termasuk awalan yang mengalami perubahan bentuk serta partikel yang biasanya ditulis serangkai dengan kata dasarnya, dapat dipenggal pada pergantian baris.
Misalnya: makan-an, mem-bantu, pergi-lah, me-rasa-kan.
Catatan:
• Bentuk dasar pada kata turunan sedapat-dapatnya tidak dipenggal.
• Akhiran –i tidak dipenggal.
• Pada kata yang berimbuhan sisipan, pemenggalan kata dilakukan sebagai berikut:
Misalnya: te-lun-juk, ge-li-gi, si-nam-bung.
3. Jika suatu kata terdiri atas lebih dari satu unsur dan salah satu unsur itu dapat bergabung dengan unsur lain, pemenggalan kata dapat dilakukan:
1) Di antara unsur-unsur itu atau
2) Pada unsur gabungan itu sesuai dengan kaidah 1a, 1b, 1c, dan 1d di atas.
Misalnya: bio-grafi, bi-o-gra-fi; pasca-panen, pas-ca-pa-nen.
Keterangan:
Nama orang, badan hukum, dan nama diri yang lain disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan kecuali jika ada pertimbangan khusus.

II. Pemakaian Huruf Kapital dan Huruf Miring
a. Huruf Kapital atau Huruf Besar
1. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.
Misalnya: Dia harus bekerja keras.
2. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.
Misalnya: Nenek menasehati, “Berhati-hatilah, Nak!”
3. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan.
Misalnya: Allah, Yang Mahakuasa, Quran, hamba-Mu.
4. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagaman yang diikuti nama orang.
Misalnya: Haji Sulaiman, Sultan Baharuddin, Nabi Muhammad.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama gelar, kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang tidak diikuti nama orang.
Misalnya: Tahun depan ia pergi naik haji.
5. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
Misalnya: Wakil Presiden Boediono, Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang, atau nama tempat.
Misalnya: Siapa nama perdana menteri yang baru dilantik itu?
6. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang.
Misalnya: Susilo Bambang Yudhoyono.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama orang yang digunakan sebagai nama sejenis atau satuan ukuran.
Misalnya: 15 ampere, 200 volt.
7. Huruf kapital sebagai huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa.
Misalnya: bangsa India, bahasa Indonesia, suku Dayak.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata turunan.
Misalnya: mengindonesiakan kata asing.
8. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah.
Misalnya: tahun Masehi, hari Natal, bulan September, Perang Baratayuda.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai sebagai nama.
Misalnya: Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Perlombaan senjata dapat memicu perang dunia.
9. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.
Misalnya: Asia Tenggara, Sungai Kapuas, Teluk Arab, Jalan Mawar.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri.
Misalnya: menyeberangi sungai, berlayar ke laut.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis.
Misalnya: pisang ambon, kacang bogor, garam inggris, gula jawa.
10. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata seperti dan.
Misalnya: Republik Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Departemen Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata yang bukan nama resmi negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan, serta nama dokumen resmi.
Misalnya: menurut undang-undang, menjadi sebuah republik, badan hukum.
11. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi.
Misalnya: Undang-Undang Dasar, Perserikatan Bangsa-Bangsa.
12. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal.
Misalnya: majalah Aneka Yess, novel Siti Nurbaya.
13. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama, gelar, pangkat, dan sapaan.
Misalnya: Dr. doktor, Prof professor, SH sarjana hukum, Sdr saudara.
14. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.
Misalnya: “Kapan Ibu berangkat?”, rumah Pak Camat.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan yang tidak dipakai dalam pengacuan atau penyapaan.
Misalnya: Kita harus menghormati bapak dan ibu kita.
15. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti Anda.
Misalnya: Surat Anda sudah kami terima, Apakah Anda sudah sembuh?
b. Huruf Miring
1. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menulis nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan.
Misalnya: majalah Jawa Pos, kitab Negarakertagama.
2. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata.
Misalnya: Makalah ini tidak membicarakan pembentukan kalimat.
Dia bukan menipu, tetapi ditipu.
3. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan kata nama ilmiah atau ungkapan asing yang telah disesuaikan ejaannya.
Misalnya: Nama ilmiah buah manggis adalah Carcinia mangostana.
Belanda menerapkan politik devide et impera.
Tetapi: Negara itu telah mengalami tiga kudeta.
Catatan:
Dalam tulisan tangan atau ketikan, huruf atau kata yang akan dicetak miring diberi satu garis di bawahnya.

III. Penulisan Kata
A. Kata Dasar
Kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan. Misalnya: Buku itu sangat tebal.
B. Kata Turunan
1. Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan kata dasarnya. Misalnya: mempermainkan, penetapan, bergeletar.
2. Jika bentuk dasar berupa gabungan kata, awalan atau akhiran ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya. Misalnya: bertepuk tangan, menganak sungai, garis bawahi, sebar luaskan.
3. Jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata mendapat awalan dan akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai. Misalnya: menggarisbawahi, menyebarluaskan, dilipatgandakan, penghancurleburan.
4. Jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai. Misalnya: adipati, mahasiswa, kolonialisme, antarkota, narapidana, semiprofesional, multilateral.
Catatan:
1) Jika bentuk terikat diikuti oleh kata yang huruf awalnya adalah huruf kapital, di antara kedua unsur itu dituliskan tanda hubung (-). Misalnya: non-Indonesia, pan-Afrikanisme.
2) Jika kata maha sebagai unsur gabungan diikuti oleh kata esa dan kata yang bukan kata dasar, gabungan itu ditulis terpisah. Misalnya: Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa selalu melindungi kita.
C. Kata Ulang
Bentuk ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung. Misalnya: buku-buku, kura-kura, gerak-gerik, lauk-pauk, berjalaln-jalan, dibesar-besarkan, terus-menerus, menulis-nulis, porak-poranda.
D. Gabungan Kata
1. Gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah khusus, unsur-unsurnya ditulis terpisah. Misalnya: duta besar, meja tulis, rumah sakit.
2. Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan kesalahan pengertian, dapat ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian di antara unsur yang bersangkutan. Misalnya: alat pandang-dengar, anak-istri saya.
3. Gabungan kata berikut ditulis serangkai. Misalnya: acapkali, adakalanya, beasiswa, bumiputra, bilamana, peribahasa, radioaktif, sukacita, olahraga, sediakala, puspawarna, sebagaimana, paramasastra, daripada.
E. Kata Ganti ku, kau, mu, dan nya
Kata ganti ku dank au ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya: ku, mu, dan nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya. Misalnya: Apakah yang kaumiliki boleh kuambil?; Bukuku, bukumu, dan bukunya, ada di atas kantor.
F. Kata Depan di, ke, dan dari
Kata depan di, ked an dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya kecuali di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata seperti kepada dan daripada.
G. Kata si dan sang
Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Misalnya: Singa itu marah sekali kepada sang Gajah; Bingkisan kado itu dikirimkan kembali kepada si pengirim.
H. Partikel
1. Partikel –lah, -kah, dan –tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya. Misalnya: bacalah, apakah, siapakah, adalah, apatah.
2. Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya. Misalnya: apa pun, satu kali pun, pulang pun, adik pun.
Catatan:
Kelompok yang lazim dianggap padu, misalnya adapun, anadaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun, walaupun.
3. Partikel per yang berarti ‘mulai’, ‘demi’, dan ‘tiap’ ditulis terpisah dari bagian kalimat yang mendahului atau mengikutinya. Misalnya: Pegawai negeri mendapat kenaikan gaji per 1 Juni; Mereka masuk ke dalam ruangan satu per satu; harga kain itu Rp 5.000,00 per helai.
I. Singkatan dan Akronim
1. Singkatan adalah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih.
a. Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda titik. Misal: S. Kar, Sdr. , M. B. A.
b. Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik. Misal: MPR, PGRI.
c. Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik. Misal: dll. , dsb. , dst. , Yth. , sda. . Tetapi: a. n. , d. a. , s. d. .
d. Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik. Misal: Cu, cm, Rp, kg, kVA, TNT, l.
2. Akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata.
a. Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. Misal: ABRI, SIM, IKIP.
b. Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital. Misal: Akabri, Bappenas, Kowani, Kapolri.
c. Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil. Misal: pemilu, radar, tilang, rudal, rapim.
Catatan:
Jika dianggap perlu membentuk akronim, hendaknya diperhatikan syarat-syarat berikut:
1) Jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia.
2) Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vocal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
J. Angka dan Lambang Bilangan
1. Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Di dalam tulisan lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi.
2. Angka digunakan untuk menyatakan:
a. Ukuran panjang, berat, luas, dan isi
b. Satuan waktu
c. Nilai uang
d. Kuantitas
3. Angka lazim dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah, apartemen, atau kamar pada alamat.
4. Angka digunakan juga untuk menomori bagian karangan dan ayat kitab suci.
5. Penulisan lambang bilangan yang dengan huruf dilakukan sebagai berikut:

a. Bilangan utuh
b. Bilangan pecahan
6. Penulisan lambang bilangan tingkat dapat dilakukan dengan cara yang berikut. Misalnya: Paku Buwono X, abad ke-20 ini, tingkat II.
7. Penulisan lambang bilangan yang mendapat akhiran –an mengikuti. Misalnya: tahun ’50-an (tahun lima puluhan).
8. Lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf kecuali jika beberapa lambang bilangan dipakai secara berurutan, seperti dalam perincian dan pemaparan.
Misalnya: Ayah memesan dua puluh ekor ayam; Dia antara 100 orang yang hadir, 75 orang setuju, dan 25 orang tidak setuju.
9. Lambang bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf. Jika perlu, susunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat pada awal kalimat.
Misalnya: Sepuluh orang tewas dalam kebakaran itu; Ibu mengundang 500 orang tamu.
10. Angka yang menunjukkan bilangan utuh yang besar dapat dieja sebagian supaya lebih mudah dibaca. Misalnya: 250 juta, 300 milyar.
11. Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks kecuali di dalam dokumen resmi seperti akta dan kuitansi.
12. Jika bilangan dilambangkan dengan angka dan huruf, penulisannya harus tepat. Misalnya: Saya sertakan uang tunai sebesar Rp 350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah).

IV. Pemakaian Tanda Baca
A. Tanda Titik (.)
1. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan.
2. Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau daftar. Misalnya: 1.1.2 Isi karangan.
Catatan:
Tanda titik tidak dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan atau ikhtisar jika angka atau huruf itu merupakan yang terakhir dalam deretan angka atau huruf.
3. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan waktu. Misalnya: pukul 2.46.10 (pukul 2 lewat 46 menit 10 detik).
4. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan jangka waktu. Misalnya: 20.45 jam (20 menit, 45 detik).
5. Tanda titik dipakai di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya dan tanda seru, dan tempat terbit dalam daftar pustaka.
6. Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya. Misalnya: 34.000 orang.
Tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang tidak menunjukkan jumlah. Misalnya: tahun 1980.
7. Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala karangan atau kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya.
8. Tanda titik tidak dipakai di belakang:
1) Alamat pengirim dan tanggal surat atau
2) Nama dan alamat penerima surat
B. Tanda Koma (,)
1. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan. Misalnya: Satu, dua, tiga!
2. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi atau melainkan.
3. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya. Misalnya: Kalau hari hujan, saya tidak akan datang.
Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya. Misalnya: Saya tidak akan datang kalau hari hujan.
4. Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, akan tetapi.
5. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat.
6. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat. Misalnya: Kata nenek, “Saya kecewa sekali.”
7. Tanda koma dipakai di antara:
a. Nama dan alamat
b. Bagian-bagian alamat
c. Tempat dan tanggal, dan
d. Nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
8. Tanda koma dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka.
9. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki.
10. Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga. Misalnya: B. Ratulangi, S.E.
11. Tanda koma dipakai di muka angka persepuluhan atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka. Misalnya: 2,5 m; Rp 15,50.
12. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi. Misalnya: Kakak saya, Andi, rajin sekali.
Bandingkan dengan keterangan pembatas yang pemakaiannya tidak diapit tanda koma. Misalnya: Semua siswa yang lulus ujian mendaftarkan namanya pada panitia.
13. Tanda koma dapat dipakai -untuk menghindari salah baca- di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat. Misalnya: Atas bantuan Eko, Agus mengucapkan terima kasih.
14. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru. Misalnya: “Cepat berdiri!” perintahnya.
C. Tanda Titik Koma (;)
1. Tanda titik koma dapat dipakai untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setara.
Misalnya: Malam makin larut; pekerjaan belum selesai juga.
2. Tanda titik koma dapat dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam kalimat majemuk.
Misalnya: Ayah pergi bekerja di ladang; Ibu sibuk memasak di dapur; Kakak menyanyi di kamar; saya sendiri asyik menonton televisi.
D. Tanda Titik Dua (;)
1. Tanda titik dua dapat dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian.
Misalnya: Kita memerlukan perabotan rumah tangga: kursi, meja, dan lemari.
Tanda titik dua tidak dipakai jika rangkaian atau perian itu merupakan pelengkap yang mengakhiri pernyataan.
Misalnya: Kita memerlukan kursi, meja, dan lemari.
2. Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian. Misalnya: Ketua: Tino Prasetyo.
3. Tanda titik dua dapat dipakai dalam teks drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku dalam percakapan.
4. Tanda titik dua dipakai:
a. Di antara jilid atau nomor dan halaman
b. Di antara bab dan ayat dalam kitab suci
c. Di antara judul dan anak judul suatu karangan
d. Nama kota dan penerbit buku acuan dalam karangan
E. Tanda Hubung (-)
1. Tanda hubung menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh penggantian baris.
Suku kata yang berupa satu vokal tidak ditempatkan pada ujung baris atau pangkal baris.
2. Tanda hubung menyambung awalan dengan bagian kata di belakangnya atau akhiran dengan bagian kata di depannya pada pergantian baris.
Akhiran –i tidak dipenggal supaya jangan terdapat satu huruf saja pada pangkal baris.
3. Tanda hubung menyambung unsur-unsur kata ulang.
Angka 2 sebagai tanda ulang hanya digunakan pada tulisan cepat dan notula, dan tidak dipakai pada teks karangan.
4. Tanda hubung menyambung huruf kata yang dieja satu-satu dan bagian tanggal. Misalnya: s-e-p-t-e-m-b-e-r, 23-09-1990.
5. Tanda hubung boleh dipakai untuk memperjelas:
a. Hubungan bagian-bagian kata atau ungkapan
b. Penghilangan bagian kelompok kata
Misalnya: ber-evolusi, dua puluh lima-ribuan (20 x 5000)
6. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan:
a. se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital
b. ke- dengan angka
c. angka dengan –an
d. singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata, dan
e. nama jabatan rangkap
misalnya: se-Indonesia, gelar ke-3, tahun 90-an, PHK-kan.
7. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing. Misalnya: di-smash.
F. Tanda Pisah (--)
1. Tanda pisah membatasi penyisipan kata atau kalimat yang member penjelasan di luar bangun kalimat.
Misalnya: Kemerdekaan bangsa itu –saya yakin akan tercapai-- diperjuangkan oleh bangsa sendiri.
2. Tanda pisah menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan yang lain sehingga kalimat menjadi lebih jelas.
Misalnya: Rangkaian temuan ini –evolusi, teori kenisbian, dan kini juga pembelahan atom-- telah mengubah persepsi kita tentang alam semesta.
3. Tanda pisah dipakai di antara dua bilangan atau tanggal dengan arti ‘sampai ke’ atau ‘sampai dengan’. Misalnya: 1990--1998.
Catatan:
Dalam pengetikan, tanda pisah dinyatakan dengan dua buah tanda hubung tanpa spasi sebelum dan sesudahnya.
G. Tanda Elipsis (…)
1. Tanda elipsis dipakai dalam kalimat yang terputus-putus. Misalnya: Kalau begitu… ya, marilah kita berangkat.
2. Tanda elipsis menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada bagian yang dihilangkan. Misalnya: Sebab-sebab kemerosotan…akan diteliti lebih lanjut.
Catatan:
Jika bagian yang dihilangkan mengakhiri sebuah kalimat, perlu dipakai empat buah titik; tiga buah untuk menandai penghilangan teks dan satu untuk menandai akhir kalimat.
H. Tanda Tanya (?)
1. Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya.
2. Tanda tanya dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian kalimat yang disangsikan atau yang kurang dapat dibuktikan kebenarannya. Misalnya: Ia meninggal tahun 1980 (?).
I. Tanda Seru (!)
Tanda seru dipakai sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun rasa emosi yang kuat.
Misalnya: Alangkah indahnya bunga itu!, Merdeka!, Tutup jendela itu!
J. Tanda Kurung ((…))
1. Tanda kurung mengapit keterangan atau penjelasan. Misalnya: DIK (Daftar Isian Kegiatan).
2. Tanda kurung mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan integral pokok pembicaraan. Misalnya: Keterangan itu (lihat table 12) menunjukkan arus kenaikan harga sembako.
3. Tanda kurung mengapit huruf atau kata yang kehadirannya di dalam teks dapat dihilangkan. Misalnya: Pejalan kaki itu berasal dari (kota) Malang.
4. Tanda kurung mengapit angka atau huruf yang memerinci satu urutan keterangan. Misalnya: Faktor produksi menyangkut masalah (a) alam, (b) tenaga kerja, dan (c) modal.
K. Tanda Kurung Siku ([…])
1. Tanda kurung siku mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan itu memang terdapat di dalam naskah asli.
Misalnya: Ayahanda men[d]engar bunyi gemerisik.
2. Tanda kurung siku mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah bertanda kurung.
Misalnya: Persamaan kedua proses ini (perbedaannya dibicarakan di dalam Bab II [lihat halaman 40-45]) perlu dijelaskan di sini.
L. Tanda Petik (“…”)
1. Tanda petik mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan dan naskah atau bahan tertulis lain.
2. Tanda petik mengapit judul syair, karangan, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat.
3. Tanda petik mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang mempunyai arti khusus.
4. Tanda petik penutup mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung.
Misalnya: Kata Ayah, “Saya juga tidak tahu.”
5. Tanda baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempatkan di belakang tanda petik yang mengapit kata atau ungkapan yang dipakai dengan arti khusus pada ujung kalimat atau bagian kalimat.
Misalnya: Adik ku mendapat julukan “Si Cengeng”.
Catatan:
Tanda petik pembuka dan tanda petik penutup pada pasangan tanda petik itu ditulis sama tinggi di sebelah atas baris.
M. Tanda Petik Tunggal (‘…’)
1. Tanda petik tunggal mengapit petikan yang tersusun di dalam petikan lain.
Misalnya: “Apakah kau mendengar bunyi ‘kring-kring’ tadi?”
2. Tanda petik tunggal mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan kata atau ungkapan asing.
Misalnya: feed-back ‘balikan’
N. Tanda Garis Miring (/)
1. Tanda garis miring dipakai di dalam nomor surat dan nomor pada alamat dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim.
Misalnya: Tahun Anggaran 2010/2011, No. 23/EP/1990.
2. Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata atau, tiap.
Misalnya: dikirimkan lewat darat/laut, harganya Rp 5000,00/lembar.
O. Tanda Penyingkat (Apostrof) (‘)
Tanda penyingkat menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka tahun. Misalnya: Dia ‘kan ku kunjungi, 23 September ’90.

KAIDAH ISTILAH
Penulisan Huruf Serapan
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari berbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing seperti Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda, atau Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya, unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas dua golongan besar:
1. Pertama, unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti: reshuffle, shuttle cock, I'exploitation de l'homme par I'homme. Unsur-unsur ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing.
2. Kedua, unsur pinjaman yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.
Kaidah Ejaan
Kaidah ejaan yang berlaku bagi unsur serapan itu sebagai berikut:

aa (Belanda) menjadi a
paal
baal
octaaf pal
bal
oktaf
ae tetap ae jika tidak bervariasi dengan e
aerobe
aerodinamics aerob
aerodinamika
ae, jika bervariasi dengan e, menjadi e
haemoglobin
haematite hemoglobin
hematit
ai tetap ai
trailer
caisson trailer
kaison
au tetap au
audiogram
autotroph
tautomer
hydraulic
caustic audiogram
autotrof
tautomer
hidraulik
kaustik
c di muka a, u, o, dan konsonan menjadi k
calomel
construction
cubic
coup
classification
crystal kalomel
konstruksi
kubik
kup
klasifikasi
kristal
c di muka e, i, oe, dan y menjadi s
central
cent
cybernetics
circulation
cylinder
coelom sentral
sen
sibernetika
sirkulasi
silinder
selom
cc di muka o, u, dan konsonan menjadi k
accomodation
acculturation
acclimatization
accumulation
acclamation akomodasi
akulturasi
aklimatisasi
akumulasi
aklamasi
cc di muka e dan i menjadi ks
accent
accessory
vaccine aksen
aksesori
vaksin
cch dan ch di muka a, o, dan konsonan menjadi k
saccharin
charisma
cholera
chromosome
technique sakarin
karisma
kolera
kromosom
teknik
ch yang lafalnya s atau sy menjadi s
echelon
machine eselon
mesin
ch yang lafalnya c menjadi c
check
China cek
Cina
ç (Sanskerta) menjadi s
çabda
çastra sabda
sastra
e tetap e
effect
description
synthesis efek
deskripsi
sintesis
ea tetap ea
idealist
habeas idealis
habeas
ee (Belanda) menjadi e
stratosfeer
systeem stratosfer
sistem
ei tetap ei
eicosane
eidetic
einsteinium eikosan
eidetik
einsteinium
eo tetap eo
stereo
geometry
zeolite stereo
geometri
zeolit
eu tetap eu
neutron
eugenol
europium neutron
eugenol
europium
f tetap f
fanatic
factor
fossil fanatik
faktor
fosil
gh menjadi g
sorghum sorgum
gue menjadi ge
igue
gigue ige
gige
i pada awal suku kata di muka vokal tetap i
iambus
ion
iota iambus
ion
iota
ie (Belanda) menjadi i jika lafalnya i
politiek
riem politik
rim
ie tetap ie jika lafalnya bukan i
variety
patient
efficient varietas
pasien
efisien
kh (Arab) tetap kh
khusus
akhir khusus
akhir
ng tetap ng
contingent
congress
linguistics kontingen
kongres
linguistik
oe (oi Yunani) menjadi e
oestrogen
oenology
foetus estrogen
enologi
fetus
oo (Belanda) menjadi o
cartoon
proof
pool kartun
pruf
pul
oo (vokal ganda) tetap oo
zoology
coordination zoologi
koordinasi
ou menjadi u jika lafalnya u
gouverneur
coupon
contour gubernur
kupon
kontur
ph menjadi f
phase
physiology
spectograph fase
fisiologi
spektograf
ps tetap ps
pseudo
psychiatry
psychosomatic pseudo
psikiatri
psikosomatik
pt tetap pt
pterosaur
pteridology
ptyalin pterosaur
pteridologi
ptialin
q menjadi k
aquarium
frequency
equator akuarium
frekuensi
ekuator
rh menjadi r
rhapsody
rhombus
rhythm
rhetoric rapsodi
rombus
ritme
retorika
sc di muka a, o, u, dan konsonan menjadi sk
scandium
scotapia
scutella
sclerosis
scriptie skandium
skotapia
skutela
sklerosis
skripsi
sc di muka e, i, dan y menjadi s
scenography
scintillation
scyphistoma senografi
sintilasi
sifistoma
sch di muka vokal menjadi sk
schema
schizophrenia
scholasticism skema
skizofrenia
skolastisisme
t di muka i menjadi s jika lafalnya s
ratio
action
patient rasio
aksi
pasien
th menjadi t
theocracy
orthography
thiopental
thrombosis
methode teokrasi
ortografi
tiopental
trombosis
metode
u tetap u
unit
nucleolus
structure
institute unit
nukleolus
struktur
institut
ua tetap ua
dualisme
aquarium dualisme
akuarium
ue tetap ue
suede
duet sued
duet
ui tetap ui
equinox
conduite ekuinoks
konduite
uo tetap uo
fluorescein
quorum
quota fluoresein
kuorum
kuota
uu menjadi u
prematuur
vacuum prematur
vakum
v tetap v
vitamin
television
cavalry vitamin
televisi
kavaleri
x pada awal kata tetap x
xanthate
xenon
xylophone xantat
xenon
xilofon
x pada posisi lain menjadi ks
executive
taxi
exudation
latex eksekutif
taksi
eksudasi
lateks
xc di muka e dan i menjadi ks
exception
excess
excision
excitation eksepsi
ekses
eksisi
eksitasi
xc di muka a, o, u, dan konsonan menjadi ksk
excavation
excommunication
excursive
exclusive ekskavasi
ekskomunikasi
ekskursif
eksklusif
y tetap y jika lafalnya y
yakitori
yangonin
yen
yuan yakitori
yangonin
yen
yuan
y menjadi i jika lafalnya i
yttrium
dynamo
propyl
psychology itrium
dinamo
propil
psikologi
z tetap z
zenith
zirconium
zodiac
zygote zenith
zirkonium
zodiak
zigot

Konsonan Ganda
Konsonan ganda menjadi konsonan tunggal kecuali kalau dapat membingungkan. Misalnya:
gabbro
accu
effect
commision
ferrum
solfeggio gabro
aki
efek
komisi
ferum
solfegio
tetapi:
mass massa
Catatan:
1. Unsur pungutan yang sudah lazim dieja secara Indonesia tidak perlu lagi diubah. Misalnya: kabar, sirsak, iklan, perlu, bengkel, hadir.
2. Sekalipun dalam ejaan yang disempurnakan huruf q dan x diterima sebagai bagian abjad bahasa Indonesia, kedua huruf itu diindonesiakan menurut kaidah yang terurai di atas. Kedua huruf itu digunakan dalam penggunaan tertentu saja seperti dalam pembedaan nama dan istilah khusus.

Akhiran Asing
Di samping pegangan untuk penulisan unsur serapan tersebut di atas,berikut ini didaftarkan juga akhiran-akhiran asing serta penyesuaiannya dalam bahasa Indonesia. Akhiran itu diserap sebagai bagian kata yang utuh.
Kata seperti standardisasi, efektif, dan implementasi diserap scara utuh di samping kata standar, efek, dan implemen.




-aat (Belanda) menjadi -at
advokaat advokat
-age menjadi -ase
percentage
etalage persentase
etalase
-al, -eel (Belanda) menjadi -al
structural,structureel
formal,formeel
normal, normaal struktural
formal
normal
-ant menjadi -an
accountant
informant akuntan
informan
-ary, -air (Belanda) menjadi -er
complementary, complementair
primary,primair
secondary, secundair komplementer
primer
sekunder
-(a)tion, -(a)tie (Belanda) menjadi -asi, -si
action,actie
publication, publicatie aksi
publikasi
-eel (Belanda) menjadi -el
ideëel
materieel
moreel ideel
materiel
morel
-ein tetap -ein
casein
protein kasein
protein
-ic, -ics, -ique, -iek, -ica (Belanda) menjadi -ik, -ika
logic,logica
phonetics,phonetiek
physics,physica
dialectics,dialektica
technique, techniek logika
fonetik
fisika
dialektika
teknik
-ic, -isch (adjektiva Belanda) menjadi -ik
electronic,electronisch
mechanic,mechanisch
ballistic, ballistisch elektronik
mekanik
balistik
-ical, -isch (Belanda) menjadi -is
economical,economisch
practical,practisch
logical, logisch ekonomis
praktis
logis
-ile, iel menjadi -il
percentile,percentiel
mobile, mobiel
-ism, -isme (Belanda) menjadi -isme
modernism, modernisme
communism, communisme modernisme
komunisme
-ist menjadi -is
publicist
egoist publisis
egois
-ive, -ief (Belanda) menjadi -if
descriptive,descriptief
demonstrative, demonstratief deskriptif
demonstratif
-logue menjadi -log
catalogue
dialogue katalog
dialog
-logy, -logie (Belanda) menjadi -logi
technology,technologie
physiology,physiologie
analogy, analogie teknologi
fisiologi
analogi
-loog (Belanda) menjadi -log
analoog
epiloog analog
epilog
-oid, -oide (Belanda) menjadi -oid
hominoid, hominoide
anthropoid, anthropoide hominoid
anthropoid
-oir(e) menjadi -oar
trottoir
repertoire trotoar
repertoar
-or, -eur (Belanda) menjadi -ur, -ir
director,directeur
inspector,inspecteur
amateu
formateur direktur
inspektur
amatir
formatur
-or tetap -or
dictator
corrector diktator
korektor
-ty, -teit (Belanda) menjadi -tas
university,universiteit
quality, qualiteit universitas
kualitas
-ure, -uur (Belanda) menjadi -ur
structure,struktuur
premature, prematuur struktur
prematur

KAIDAH TATA BAHASA
a. Pengertian Mengenai Tata Bunyi
1. Fonem, Alofon, dan Grafem
Fonem adalah satuan bahasa terkecil berupa bunyi atau aspek bunyi bahasa yang membedakan bentuk dan makna kata. Bunyi [p] dan [b] pada kata pagi dan bagi adalah fonem. Kata pagi dan bagi masing-masing terdiri atas empat fonem. Berdasarkan konversi, fonem ditulis di antara tanda garis miring: /pagi/, /bagi/.
Jika dua bunyi bahasa secara fonetik mirip, tetapi tidak membedakan kata, maka kedua bunyi itu disebut alofon dari fonem yang sama. Variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti kata dinamakan alofon. Alofon dituliskan di antara dua kurung siku […].
Fonem harus dibedakan dari grafem. Fonem merujuk ke bunyi bahasa, sedangkan grafem merujuk ke huruf atau gabungan huruf sebagai satuan pelambang fonem dalam sistem ejaan. Kata pagi, misalnya, terdiri atas empat huruf: p, a, g, i. Tiap-tiap huruf itu merupakan grafem, yakni

, , , dan dan tiap-tiap grafem itu melambangkan fonem yang berbeda, yakni /p/, /a/, /g/, dan /i/.
2. Gugus dan Diftong
Pengertian dasar mengenai gugus dan diftong adalah sama. Perbedaannya adalah bahwa gugus berkaitan dengan konsonan, sedangkan diftong dengan vokal. Gugus adalah gabungan dua konsonan atau lebih yang termasuk dalam satu suku kata yang sama. Jika gabungan konsonan seperti itu termasuk dalam dua suku kata, maka gabungan itu tidak dinamakan gugus. Misalnya: /kl/ dan /kr/ dalam /klinik/ dan /pokrol/ adalah gugus karena /kl/ dan /kr/ masing-masing termasuk dalam satu suku kata, yakni /kli-/ dan /-krol/.
Diftong juga merupakan gabungan bunyi dalam satu suku kata, tetapi yang digabungkan adalah vokal dengan /w/ atau/y/. Jadi, /aw/ pada /kalaw/ dan /bangaw/ (untuk kata kalau dan bangau) adalah diftong, tetapi /au/ pada /mau/ dan /bau/ (untuk kata mau dan bau) bukanlah diftong.
3. Fonotaktik
Kaidah yang mengatur penjejeran fonem dalam satu morfem dinamakan kaidah fonotaktik. Bahasa Indonesia, misalnya, mengizinkan jejeran seperti /-nt-/ (untuk), /-rs-/ (bersih), dan /-st-/ (pasti), tetapi tidak mengizinkan jejeran seperti /-pk-/ dan /-pd/. Tidak ada morfem asli dalam bahasa Indonesia yang menjejerkan fonem seperti yang dicontohkan di atas. Jadi, bentuk-bentuk seperti opkir dan kapdu terasa janggal dan memang tidak ada kata dengan jejeran fonem yang demikian. Oleh karena itu, singkatan, terutama dalam bentuk akronim, hendaknya serasi dengan kaidah fonotaktik bahasa Indonesia.

b. Pengertian Mengenai Pembentukan Kata
1. Morfem, Alomorf, dan Kata Dasar
Morfem adalah satuan terkecil bermakna yang akurat yang merupakan kata atau bagian kata. Morfem yang dapat berdiri sendiri, seperti besar, dinamakan morfem bebas, sedangkan yang melekat pada bentuk lain, seperti mem- dan per-, dinamakan morfem terikat.
Morfem biasanya diapit oleh tanda kurung kurawal {…}. Dengan demikian, mem- dan men- adalah dua alomorf dari satu morfem yang sama, yakni {meng-}. Di samping itu, masih ada alomorf meny-, meng-, me-, dan menge-.
2. Analogi
Kesamaan pola pembentukan berdasarkan contoh disebut analogi. Di dalam dunia olahraga kita mengenal paradigma bergulat-pegulat dan bertinju-petinju. Kini muncul kata pegolf, pehoki dan pecatur yang masing-masing dibentuk berdasarkan pola pegulat dan petinju tanpa memperhitungkan ada tidaknya kata bergolf, berhoki, dan bercatur.
3. Proses Morfofonemik
Sebuah morfem dapat bervariasi bentuknya. Kaidah yang menentukan bentuk itu dapat diperikan sebagai proses yang berpijak pada bentuk yang dipilih sebagai lambang morfem. Proses perubahan bentuk yang disyaratkan oleh jenis fonem atau morfem yang digabungkan dinamakan proses morfofonemik, misalnya proses perubahan meng- menjadi mem-, men-, meny-, menge-, dan me-.
4. Afiks, Prefiks, Sufiks, Infiks, dan Konfiks
Bentuk (atau morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan kata dinamakan afiks atau imbuhan. Afiks yang ditempatkan di bagian muka suatu kata dasar disebut prefiks atau awalan. Apabila morfem terikat digunakan di bagian belakang kata, maka namanya adalah sufiks atau akhiran. Infiks atau sisipan adalah afiks yang diselipkan di tengah kata dasar. Gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk suatu kesatuan dinamakan konfiks.
5. Afiks Homofon
Afiks homofon adalah afiks yang wujud atau bunyinya sama tetapi merupakan dua morfem, atau lebih, yang berbeda. Prefiks seperti se- pada setiba, seratus dan sebesar, misalnya, merupakan tiga morfem terikat yang berbeda karena memiliki makna yang berlainan.

c. Pengertian Mengenai Kalimat
1. Kategori Sintaksis
Dalam bahasa Indonesia kita memiliki empat kategori sintaksis utama:
a. Verba atau kata kerja
b. Nomina atau kata benda
c. Adjektiva atau kata sifat
d. Adverbial atau kata keterangan
Di samping itu, ada satu kelompok lain yang dinamakan kata tugas yang terdiri atas beberapa subkelompok yang lebih kecil, misalnya preposisi atau kata depan, konjungtor atau kata sambung, dan partikel.
2. Fungsi Sintaksis
Tiap kata atau frasa dalam kalimat mempunyai fungsi yang mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam kalimat tersebut. Fungsi itu bersifat sintaksis, artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Fungsi sintaksis utama dalam bahasa adalah predikat, subjek, objek, pelengkap dan keterangan. Di samping itu, ada fungsi lain seperti atributif (yang menerangkan), koordinatif (yang menggabungkan secara setara), subordinatif (yang menggabungkan secara bertingkat).
3. Peran Semantis
Suatu kata dalam konteks kalimat memiliki peran semantic tertentu. Misalnya:
Annisa menunggui adiknya.
Dari segi peran semantis, Annisa adalah pelaku, yaitu orang yang melakukan perbuatan menunggui. Adiknya pada kalimat ini adalah sasaran, yaitu yang terkena perbuatan yang dilakukan oelh pelaku.
4. Macam Ragam Kalimat
Frasa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Klausa aalah satuan gramatika yang terdiri dari subjek (S) dan predikat (P), baik disertai objek (O) dan keterangan (K), serta memiliki potensial untuk menjadi kalimat.
Kalimat adalah satuan bahasa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang mengandung pikiran yang lengkap dan punya pola intonasi akhir. Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri atas dua unsur inti pembentukan kalimat (subjek dan predikat) dan boleh diperluas dengan salah satu atau lebih unsur-unsur tambahan (objek dan keterangan), asalkan unsur-unsur tambahan itu tidak membentuk pola kalimat baru. Kalimat majemuk adalah kalimat-kalimat yang mengandung dua klausa atau lebih. Kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yang hubungan antara klausa-klausanya sederajat. Kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat yang di dalamnya terdapat anak kalimat dan induk kalimat.

d. Pengertian Mengenai Wacana
Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.
1. Kohesi dan koherensi
Kohesi dan koherensi adalah dua unsur yang menyebabkan sekelompok kalimat membentuk kesatuan makna. Kohesi merujuk pada keterkaitan antarproposisi yang secara eksplisit diungkapkan oleh kalimat-kalimat yang digunakan. Koherensi juga mengaitkan dua proposisi atau lebih, tetapi keterkaitan di antara proposisi-proposisi tersebut tidak secara eksplisit dinyatakan dalam kalimat-kalimat yang dipakai.
2. Deiksis
Adalah gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan.
3. Anafora dan Katafora
Anafora adalah peranti dalam bahasa untuk membuat rujuk silang dengan hal atau kata yang telah dinyatakan sebelumnya. Peranti itu dapat berupa kata ganti persona seperti dia, mereka, nomina tertentu, konjungsi, keterangan waktu, alat, dan cara. Kebalikan dari anafora adalah katafora, yaitu rujuk silang terhadap anteseden yang ada di belakangnya.
4. Pengacuan atau Referensi
Adalah hubungan antara satuan bahasa dan maujud yang meliputi benda atau hal yang terdapat di dunia yang diacu oleh satuan bahasa itu.
5. Konstruksi Endosentrik dan Eksosentrik
Konstruksi endosentrik adalah frasa yang salah satu konstituennya dapat dianggap yang paling penting. Konstituen itu, yang disebut inti, dapat mewakili seluruh konstruksi endosentrik dan menentukan perilaku sintaktik dan/atau semantik frasa itu di dalam kalimat. Konstruksi endosentrik dibedakan dari konstruksi eksosentrik yang tidak mempunyai konstituen inti karena tidak ada konstituen yang dapat mewakili seluruh konstruksi itu.






D. PENUTUP
a. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah kaidah-kaidah kebahasaan ini adalah:
1. Kaidah-kaidah kebahasaan terdiri dari tiga kelompok besar, yaitu kaidah ejaan, kaidah istilah, dan kaidah tata bahasa.
2. Kaidah ejaan membahas tentang pemakaian huruf, penulisan kata, serta pemakaian tanda baca.
3. Kaidah istilah membahas tentang penulisan huruf serapan, kaidah ejaan unsur-unsur serapan, konsonan ganda, dan akhiran asing.
4. Kaidah tata bahasa membahas tentang pengertian mengenai tata bunyi, pengertian mengenai pembentukan kata, pengertian mengenai kalimat, dan pengertian mengenai wacana.

b. Saran
Untuk pengembangan lebih lanjut, saran yang dapat saya berikan adalah:
1. Perlunya pemahaman yang lebih mendalam terhadap kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
2. Perlu adanya batasan-batasan yang jelas mengenai materi yang termasuk dalam masing-masing kaidah kebahasaan.
3. Dibutuhkan banyak referensi, baik dari buku, internet, maupun surat kabar.










DAFTAR PUSTAKA


Alwi, Hasan. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Moeliono, Anton M. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa.
Dr. Cece Sobarna. Kaidah dan Penerapan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. http://juwie.wordpress.com/2009/03/24/kaidah-dan-penerapan-ejaan-bahasa-indonesia-yang-disempurnakan-eyd/. 24 September 2010.
Wikipedia. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. http://id.wikisource.org/wiki/Pedoman_Umum_Ejaan_Bahasa_Indonesia_yang_Disempurnakan/Bab_V. 24 September 2010.
Wikipedia. Pedoman Ejaan dan Penulisan Kata. http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Pedoman_ejaan_dan_penulisan_kata. 24 September 2010.