Sabtu, 16 Juli 2011

HASTA BRATA

KISAH WAHYU MAKUTHARAMA

Prabu Duryudana (Suyudana) raja Astinapura sedang mengadakan siniwakan agung (rapat paripurna) yang juga dihadiri guru besar kerajaan, Resi Druna (Durna), Senapati Agung dari Awangga, yaitu Narpati Basukarna (Adipati Karna), Baladewa raja Mandura, Patih Sengkuni dan para Kurawa, membicarakan tentang wangsit yang diterima Dewa melalui mimpinya akan turun wahyu Makhutarama di Kutharunggu.
Menurut petunjuk dari Resi Durna, kerajaan yang mendapat wahyu Makhutarama, akan menjadi negara yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi, rakyatnya tidak akan menderita kekurangan apapun dan memperoleh perlindungan dari Hyang Maha Kuasa.
Sebagai murid dan sekaligus sebagai Raja, Prabu Duryudana, setelah mendengar petunjuk dari guru besarnya kemudian memerintahkan Adipati Karna untuk berangkat dan mendapatkan wahyu Makhutarama di Pertapaan Kutharunggu. Adipati Karna berangkat ke Pertapaan Kutharunggu disertai sabregada (sepasukan) prajurit Astina dengan perlengkapan perangnya.
Seorang begawan bernama Begawan Kesawasidhi sedang bertapa di Pertapaan Kutharunggu. Anoman beserta Resi Maenaka, Yaksendra, Yajagwreka, dan Gajah Setubanda mendapat tugas dari Begawan Kesawasidhi untuk menjaga keamanan dan ketentraman pertapaan selama begawan bersemedi (meditasi).
Saat Begawan Kesawasidhi bersemedi, datanglah Adipati Karna, dengan maksud ingin bertemu dengan Begawan Kesawasidhi. Maksud dan tujuan Adipati Karna tersebut dihalang-halangi oleh Anoman dan para saudaranya, karena sang begawan masih bersemedi. Terjadilah perbedaan persepsi antara Anoman dengan Adipati Karna, akhirnya terjadi pertempuran sengit yang berakibat menimbulkan banyak korban. Para kurawa tidak mampu menandingi kesaktian Resi Maenaka, Yaksendra, Yajagwreka, dan Gajah Setubanda, sedangkan Anoman yang bertempur melawan Adipati Karna juga berlangsung dengan sengitnya, keduanya mengeluarkan kesaktiannya masing-masing.
Adipati Karna, karena terdesak akhirnya mengeluarkan senjata pamungkas (senjata andalan terakhirnya) yang berupa panah Kunthawijaya, Anoman sangat terkejut, karena Kunthawijaya tidak boleh diremehkan dan tidak seorangpun yang mampu menahan kekuatannya.
Merasa dirinya tidak mampu menandingi kekuatan senjata Kunthawijaya, maka Anoman terbang setinggi-tingginya kemudian melesat menukik ke bawah untuk mengambil Kunthawijaya dari tangan Adipati Karna. Menyadari senjata andalannya terlepas dari busurnya dan tidak mengenai sasarannya, maka kembalilah Adipati Karna dengan lemasnya ke Awangga, ia tidak kembali ke Astina karena merasa sedih, malu, gagal dalam menjalankan tugasnya dan telah kehilangan pusaka andalannya.
Raden Arjuna mendapatkan tugas yang sama dari Prabu Puntadewa yaitu untuk mendapatkan wahyu Makutharama di Pertapaan Kutharunggu. Ia ditemani oleh para punakawan yang setia menghibur di kala Raden Arjuna dalam kesedihan di waktu perjalanan menuju ke Pertapaan Kutharunggu.
Ketika perjalanan memasuki hutan belantara, Raden Arjuna dihadang dan diganggu perjalanannya oleh para raksasa, sehingga terjadi pertempuran dan akhir pertempuran dimenangkan oleh Raden Arjuna dan perjalanannya dilanjutkan ke Pertapaan Kutharunggu.
Kerajaan Amerta yang diselimuti awan hitam bagaikan tidak ada sinar matahari, karena itu seluruh penghuninya duduk termenung diam membisu. Pandangan mata menatap hampa, nafas berdesah dan gelisah menyelimuti hati mereka, demikian pula dengan Prabu Puntadewa, Bima, Nakula, Sadewa dan Raden Gatutkaca. Prabu Puntadewa sedang memikirkan Prabu Kresna yang telah lama tidak berkunjung ke Amarta dan Raden Arjuna yang juga sudah lama belum kembali dari tugasnya untuk mendapatkan wahyu Makhutarama di Pertapaan Kutharunggu. Prabu Puntadewa memerintahkan Bima untuk mencari Prabu Kresna, sedangkan Raden Gatukaca diperintahkan untuk mencari keberadaan Raden Arjuna. Keduanya segera berangkat meninggalkan Amarta untuk melaksanakan tugasnya.
Belum kembalinya Raden Arjuna ke Amarta, juga menimbulkan kegelisahan Dewi Wara Subadra dan Dewi Wara Srikandhi istri-istri Raden Arjuna di Kasatriyan Madukara. Kedua istri Raden Arjuna, memohon kepada para dewa untuk mengetahui keberadaan suaminya dengan sungguh-sungguh. Karena ketulusan dan keseriusan mereka, akhirnya dewa mengabulkan dengan datangnya Batara Naradha. Untuk memberi jalan kepada Dewi Subadra dan Dewi Srikandhi, keduanya dirubah wujudnya menjadi dua satriya elok rupawan dan diberi nama Shintawaka untuk Dewi Subadra dan Madusubrata untuk Dewi Srikandhi. Keduanya diperintahkan untuk menuju ke Pertapaan Kutharunggu. Setelah selesai memberi petunjuk dan arahan kepada Shintawaka dan Madusubrata, Batara Naradha kembali menuju ke kahyangan sedangkan Shintawaka dan Madusubrata segera berangkat ke Pertapaan Kutharunggu, menuruti petunjuk Batara Naradha.
Anoman melaporkan tentang kejadian pertempurannya antara ia yang dibantu dengan saudara-saudaranya dengan Adipati Karna dengan para Kurawa setelah Begawan Kesawasidhi selesai bersemedi. Anoman melarang Adipati Karna untuk bertemu dengan Begawan Kesawasidhi dikarenakan sang Begawan masih semedi. Ia lalu menyerahkan senjata Adipati Karna yaitu Kunthawijaya yang dapat direbutnya pada waktu pertempuran terjadi.
Mendengar laporan Anoman tersebut, Begawan Kesawasidhi kemudian memberi wejangan kepada Anoman yang pada hakekatnya merupakan teguran halus atas kesalahan Anoman.
Begawan Kesawasidhi, sebagai figur atau tokoh panutan dalam beragama, meskipun ia marah atau tidak berkenan dengan perbuatan Anoman yang salah menurut tatanan, maka cara menegurnya pun dengan menggunakan tutur kata yang halus untuk menjaga perasaan orang yang ditegurnya istilahnya “nduweni roso rumongso” atau “nduweni tepo seliro”, semuanya dikembalikan pada dirinya sendiri. Andaikan ia ditegur orang lain dengan cara kasar pasti ia juga sakit hati.
Tindakan Anoman melarang Adipati Karna menemui atau menghadap Begawan Kesawasidhi merupakan tindakan yang salah, karena Anoman dalam menjalankan tugasnya melebihi wewenangnya, apalagi sampai bertempur yang menimbulkan banyak korban, menyusahkan dan membuat malu seorang Senapati Agung karena kehilangan senjata andalannya (pusaka andalannya). Anoman hanya diberi wewenang untuk menjaga keamanan dan ketentraman Pertapaan Kutharunggu saja. Begawan Kesawasidhi tidak pernah memberi wewenang Anoman dan saudara-saudaranya untuk menolak orang yang akan bertemu atau menghadap begawan.
Anoman sungguh sangat terkejut mendengar sabda Begawan Kesawasidhi, menurut Anoman ia telah berbuat benar, ternyata sebaliknya justru tanpa disadari Anoman telah berbuat kesalahan. Menyadari kesalahannya, Anoman memohon petunjuk Begawan Kesawasidhi untuk menebus kesalahannya, Anoman diperintahkan kembali kepertapaan Kendhalisada agar bersemedi atau bermeditasi untuk memohon petunjuk para dewa dan mohon pengampunannya.
Anoman segera meninggalkan pertapaan Kutharunggu, kembali kepertapaan Kendhalisada untuk melaksanakan perintah Begawan Kesawasidhi. Kejadian tersebut sama dengan Anoman telah melebihi Perintah Begawan Kesawasidhi, melebihi perintah sama halnya menambah atau mengurangi perintah yang artinya sama dengan mendustakan perintah.
Sepeninggal Anoman, datanglah Raden Arjuna dan menghadap Begawan Kesawasidhi, mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya ke Pertapaan Kutharunggu untuk mendapatkan wahyu Makhutarama. Mendengar keinginan Raden Arjuna untuk mendapatkan wahyu Makutharama, kemudian Begawan Kesawasidhi memberikan wejangan kepada Raden Arjuna dan mengatakan bahwa wahyu Makutharama itu tidak lain adalah ilmu yang dipakai oleh Prabu Rama ketika menjadi raja di Pancawatidhendha.
Prabu Rama sangat dihormati dan dikasihi oleh para kawulanya dan keberhasilan pemerintahannya karena Prabu Rama berpegang pada ajaran yang disebut dengan “Hasthabrata”. Seorang pemimpin atau raja yang memegang teguh “Hasthabrata” ketika menduduki tahta singgasananya, ia akan tetap jaya, sentosa, adil dan dapat memakmurkan rakyatnya atau kawulanya serta akan dihormati dan dikasihi oleh rakyatnya.
Begawan Kesawasidhi menjelaskan panjang lebar tentang wahyu Makutharama yang tidak lain merupakan ilmu pemerintahan yang harus dimiliki oleh rajanya atau pemimpinnya ketika memimpin, agar rakyat mengalami hidup tata tentrem tur raharja (aman tentram dan damai serta berkecukupan) yang disebut dengan “Hasthabrata” (delapan laku/watak). Raden Arjuna lalu mohon undur diri. Sebelum ia pergi, Begawan Kesawasidhi menitipkan Kunthawijaya, senjata pusaka Adipati Karna yang dirampas Anoman, untuk diserahkan kembali pada pemiliknya.
Dengan selesainya tugas menjabarkan “Hasthabrata” maka Begawan Kesawasidhi berubah wujudnya kembali menjadi Prabu Kresna dari Dwarawati, kemudian menyusul perjalanan Raden Arjuna yang kembali ke Kerajaan Amarta.
Shintawaka jelmaan Dewi Wara Subadra dan Madusubrata jelmaan Dewi Wara Srikandi, dalam perjalanannya mencari Raden Arjuna selalu meneriakkan tantangannya kepada Raden Arjuna. Suara tantangan yang lantang itu terdengar oleh Raden Gatutkaca yang sedang berada diangkasa dalam perjalanan untuk mencari Raden Arjuna. Tidak terima dengan kesombongan Shintawaka dan Madusubrata yang merendahkan Raden Arjuna, terjadilah pertempuran yang berakhir dengan kekalahan Raden Gatutkaca. Kemudian Raden Gatutkaca diangkat anak oleh mereka dan diajak untuk bersama-sama mencari Raden Arjuna.
Adipati Karna yang sedih dan malu, setelah kehilangan senjata pusakanya Kunthawijaya dan kegagalannya untuk memperoleh wahyu Makhutarama, bertemu dengan Raden Arjuna. Keduanya saling melepas rindu karena lama tidak bertemu. Raden Arjuna menyerahkan senjata pusaka Kunthawijaya kepada Adipati Karna. Dengan kembalinya senjata pusaka andalannya, hati Adipati Karna sangat senang dan mengucapkan terima kasih kepada Raden Arjuna yang telah mengembalikan Kunthawijayanya.
Adipati Karna menanyakan asal mulanya Kunthawijaya dapat berada ditangan Raden Arjuna. Raden Arjuna pun berterus terang bahwa senjata pusaka Kunthawijaya ia peroleh dari Begawan Kesawasidhi ketika bermaksud mencari wahyu Makutharama. Mendengar cerita itu, Adipati Karna memaksa ingin tahu tentang wahyu Makutharama, tetapi Raden Arjuna menolak memberitahukan sehingga terjadi pertempuran di antara keduanya. Adipati Karna kalah bertanding dan melarikan diri dari pertempuran dengan Raden Arjuna.
Adipati Karna yang sedang melarikan diri di tengah perjalanannya bertemu dengan Shintawaka dan Madusubrata yang sedang mencari Raden Arjuna. Pucuk dicinta ulam tiba, Adipati Karna memberitahukan bahwa Raden Arjuna berada di belakang dan sedang mengejarnya.
Raden Arjuna yang tengah mengejar Adipati Karna, dihalang-halangi oleh Shintawaka dan Madusubrata hingga terjadi pertempuran. Raden Arjuna kalah dan menghindari Shintawaka dan Madusubrata. Saat Raden Arjuna mundur untuk menghindari dari Shitawaka dan Madusubrata, ia betemu dengan Bimasena yang sedang mencari keberadaan Prabu Kresna. Raden Arjuna menceritakan bahwa ia kalah dalam bertanding melawan Shintawaka dan Madusubrata, Raden Arjuna kemudian mengharapkan bantuan Bimasena untuk melawan Shintawaka dan Madusubrata. Bimasena heran adiknya dapat dikalahkan oleh dua satriya yang tidak terkenal, tetapi ia tetap bersedia membantu Raden Arjuna untuk menghadapi Shintawaka dan Madusubrata. Dalam pertempuran dengan Shintawaka dan Madusubrata, Bimasena juga dapat dikalahkan, karena Shintawaka dan Madusubrata dibantu oleh Gatutkaca yang mengetahui kelemahan ayahnya.
Bimasena dan Raden Arjuna mundur menghindari pertempuran dengan Shintawaka dan Madusubrata dan mereka bertemu dengan Prabu Kresna. Keduanya menceritakan bahwa baru saja bertempur dengan Shintawaka dan Madusubrata yang sangat sakti dan sulit untuk ditundukkan. Prabu Kresna melihat dengan mata kedewataannya dan mengetahui siapa jati diri keduanya. Prabu Kresna memerintahkan Raden Arjuna kembali untuk menghadapi Shintawaka dan Madusubrata dengan menggunakan ilmu/aji Asmaratantra berupa syair/tembang asmara yang dapat meluluhkan hati. Shintawaka dan Madusubrata berubah kembali wujudnya ke wujud aslinya yaitu Shintawaka berubah kembali menjadi Dewi Wara Subadra dan Madusubrata berubah kembali wujudnya menjadi Dewi Wara Srikandi.
Prabu Kresna dan Bimasena, menanyakan kepada Dewi Wara Subadra mengapa ia menyamar sebagai seorang satriya. Dewi Wara Subadra pun menceritakan perihal kesedihannya karena lama ditinggal Raden Arjuna dan tidak ada kabar beritanya. Setelah mendengar penuturan Dewi Wara Subadra demikian, maka Prabu Kresna terasa lega dan bersyukur atas bantuan Batara Naradha dapat mempertemukan kembali Dewi Wara Subadra dengan suaminya Raden Arjuna.

HASTHA BRATA

Makutharama merupakan gabungan dari dua kata yaitu “Makutha” dan “Rama”. ”Makutha” adalah mahkota yang merupakan kelengkapan busana kebesaran seorang raja, sedangkan ”Rama” yang dimaksud adalah Prabu Rama Wijaya suami Dewi Shinta raja di Ayodya. Sehingga Makutharama dapat diartikan sebagai watak yang harus dimiliki oleh seorang raja meniru apa-apa yang telah dicontohkan oleh Prabu Rama Wijaya.. Sedangkan Hasthabrata juga merupakan gabungan dari dua kata yaitu “Hastha” dan “Brata”. ”Hastha” adalah delapan dan ”Brata” adalah laku atau perilaku.. Maka Hastha brata secara bebas dapat diartikan 8 (delapan) perilaku yang layak disandang dan dilaksanakan.
Dalam cerita pewayangan, Hasthabrata diajarkan oleh Sri Rama kepada Raden Barata ketika dia menyusul ke hutan untuk memohon kepada Sri Rama pulang ke negara Ayodya agar mau menjadi Raja. Namun karena terikat akan janji Ayahandanya yaitu Prabu Dasarata kepada Dewi Kekayi bahwa dia mau diperistri asal putranya kelak yang menggantikan tahta Ayodya, maka Sri Rama tidak mau menuruti bujukan Raden Barata. Sambil menangis, Raden Barata meratap-ratap bahwa Sri Ramalah yang pantas`menduduki tahta Ayodya, bukan dirinya. Akhirnya jalan tengah pun diambil oleh Sri Rama, Raden Barata diperintahkan kembali ke keraton Ayodya dengan membawa tarumpah atau sandal Sri Rama sebagai tanda bahwa Raden Barata dalam menjalankan pemerintahan di Ayodya sebagai Raja hanyalah sebagai badal atau wakil Sri Rama saja. Maka sebagai bekal Raden Barata naik tahta diwejanglah ajaran Hasthabrata ini.
Kali kedua, Hasthabrata ini diwejangkan oleh Sri Rama kepada Gunawan Wibisono ketika Negara Alengka sudah bisa dikalahkan dalam rangka Rama merebut kembali Dewi Shinta dari cengkeraman Rahwana. Sri Rama tidak berkenan menjadi Raja di Negara Alengkadiraja walau dia merupakan pemenang perang. Karena kebijaksanaan Sri Rama mengingat trah Alengkadiraja masih ada yang hidup yaitu Gunawan Wibisono yang merupakan adik dari Prabu Rahwana atau Dasamuka. Sebelum naik tahta di Alengkadiraja yang atas titah Sri Rama berganti menjadi Negara Singgelapura maka Gunawan Wibisono pun diwejang Wahyu Makutharama atau Hasthabrata oleh Sri Rama.
Adapun 8 (delapan) hal yang merupakan Hasthabrata adalah meniru watak dari alam di sekitar kita, yaitu:
1. Pratiwi yang berarti bumi. Bumi mempunyai watak kuat sentosa, segala sesuatu mampu diangkatnya dengan gagah perkasa, baik itu manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan semua berpijak di atas bumi dan bumi pun tidak pernah mengeluh atas beban itu.
2. Surya yang berarti matahari. Matahari mempunyai watak menerangi merata di seluruh jagat tanpa kecuali, sinar matahari bersifat memberikan kehidupan pada seluruh makhluk.
3. Candra yang berarti rembulan. Rembulan mempunyai watak memberikan penerangan di kala malam hari atau pada saat gelap maka sifat rembulan memberikan penerangan kepada siapa saja yang sedang mengalami kegelapan.
4. Samirana yang berari angin atau udara. Udara mempunyai watak lembut dan dapat merata ke seluruh alam, baik itu yang keliatan maupun yang tidak. Terbukti di gua-gua yang dalam, berliku dan gelap sekalipun masih terdapat udara bahkan di dalam air sekalipun juga terdapat udara.
5. Jaladri yang berarti lautan atau samudera. Samudera mempunyai watak yang luas sehingga mampu menampung apa saja baik itu hal-hal yang baik maupun buruk, segala sampah masuk ke laut, bahkan bangkai anjing sekalipun juga masuk ke laut. Namun laut tidak pernah mengeluarkan bau yang tidak sedap.
6. Tirta yang berarti air. Air mempunyai watak memberikan kehidupan kepada makhluk hidup baik manusia, tumbuh-tumbuhan maupun hewan semua membutuhkan air demi kelangsungan hidupnya.
7. Kartika yang berarti bintang. Bintang mempunyai watak memberikan keindahan pada alam semesta. Kelip-kelip bintang di malam hari memberikan rasa nyaman tenteram bagi siapa saja yang melihatnya.
8. Dahana yang berarti api. Api mempunyai watak mampu menghanguskan apa saja tanpa pandang bulu. Maka sifat api ini diambil sebagai contoh untuk seorang raja harus mampu menghukum siapa saja yang salah, tidak pandang bulu apakah itu sanak atau keluarga, apabila bertindak salah harus dihukum demi tegaknya keadilan.

1 komentar:

  1. Mohon izin untuk menggunakan sebagai referensi. Trima kasih. Sukses selalu!

    BalasHapus